Senin, 20 Juni 2016

November 1828 (1978)


REVIEW INI MUNGKIN MENGANDUNG SEDIKIT SPOILER

Menurut dari artikel sejarah yang pernah saya baca, Perang Diponegoro adalah sebuah peperangan besar yang berlangsung selama lima tahun (1825 - 1830) di pulau Jawa. Makanya, perang ini juga di sebut juga dengan nama Perang Jawa. Soalnya perang ini adalah salah satu perang terbesar yang pernah di alami oleh Belanda selama pendudukannya di Indonesia. Perang ini melibatkan pasukan Belanda yang di pimpin oleh Jenderal De Kock yang melawan penduduk Jawa di bawah ke pemimpinan Pangeran Diponegoro. Perang ini menelan banyak korban. Sebanyak 200.000 penduduk Jawa yang tewas. Sedangkan korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Semua kekacauan ini di picu oleh sikap protes Pangeran Diponegoro atas pembangunan jalan oleh Belanda yang melintasi makam leluhurnya.
Perang tersebut sangatlah bersejarah. Hingga akhirnya sutradara sekaligus penulis legendaris Indonesia, Teguh Karya mengangkat peristiwa tersebut menjadi sebuah film. Mungkin di tangan sutradara lain film ini akan sekedar mengisahkan tentang perlawanan rakyat Jawa terhadap pasukan Belanda. Tapi hei, ini filmnya Teguh Karya. Di tangan dinginnya-alih-alih mengadaptasi langsung mengenai Perang Diponegoro, beliau malah membuat film yang berisikan karakter-karakter fiksi namun berlatarkan perang tersebut. Di bintangi oleh aktor dan aktris jempolan Indonesia macam Slamet Rahardjo, Jenny Rachman, El Manik, dll yang berhasil nunjukkin akting level Kyubi di film ini. Film ini memenangkan 6 Piala Citra untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Teguh Karya), Tata Sinematografi Terbaik (Tantra Surjadi), Tata Musik Terbaik (Franki Raden, Sardono W. Kusumo, Slamet Rahardjo), Tata Artistik Terbaik (Benny Benhardi, Slamet Rahardjo), dan Pemeran Pembantu Pria Terbaik (El Manik). Film ini juga menghabiskan dana yang besar pada zamannya, yaitu Rp 240 juta untuk pembuatannya. Menjadikannya salah satu film Indonesia termahal.
Seperti judulnya, film ini mengambil setting waktu pada bulan November tahun 1828 di sebuah desa kecil bernama Desa Sambiroto. Bisa di bilang ceritanya tergolong simple. Kita akan di kenalkan dengan dua orang Belanda, Kapiten van der Borst (Slamet Rahardjo-dengan make up luar biasa sehingga kelihatan bule) dan Letnan van Aken (El Manik) yang di utus oleh petinggi-petingginya untuk mencari informasi tentang persembunyian Sentot Prawirodirjo yang merupakan panglima perang dari Pangeran Diponegoro. Kemudian ada seorang penduduk desa yang gila tahta bernama Jayangwirono (Rachmat Hidayat) menghadap kepada van der Borst dan bilang kalau Kromoludiro (Maruli Sitompul) sebenernya tahu di mana Sentot berada. Kromoludiro akhirnya di tangkap dan di siksa dan pihak Belanda pun menyandera keluarganya di rumahnya.
Walaupun sama-sama perwira Belanda-nya, van der Borst dan Van Aken punya prinsip yang berbeda. van der Borst sangat berambisi untuk menangkap Sentot Prawirodirjo. Ia menghalalkan segala cara dan tidak segan-segan seandainya harus membunuh kalau gak dapet apa yang dia inginkan. Berbeda jauh dengan van Aken. Ia lebih menyukai diplomasi ketimbang pemaksaan maupun kekerasan dan punya rasa kasihan terhadap penduduk pribumi. Ia tidak ingin Belanda di kenang sejarah sebagai bangsa yang keji dan tidak berperikemanusiaan (spoiler begins: Akhirnya kita akan tahu kalau mereka berdua sama-sama berdarah Indo-Belanda. Alasan kenapa van der Borst sangat ambisius adalah ingin menyenangkan atasan-atasannya untuk membuktikan ke-Belanda-annya. Di ceritakan bahwa seorang berdarah Indo-Belanda sulit untuk mendapatkan jabatan yang tinggi. spoiler ends).
Dalam sebuah film epic biasanya di tampilkan adegan-adegan peperangan yang megah. Well, film ini punya adegan perang itu. Namun, perang tersebut tampil dalam skala yang gak besar. Disinilah kejeniusan seorang Teguh Karya. Beliau dengan kerennya malah menulis cerita yang sarat akan pendalaman psikologis karakter-karakternya. Yes, beliau berhasil menampilkan sebuah psychological-drama disini. Gak ada baik dan jahat atau protagonis dan antagonis disini. Batasnya tipis banget. Setiap karakter punya motivasi sendiri-sendiri. Lihat aja adegan pas van der Borst sama van Aken saling berdebat mengemukakan prinsip masing-masing yang kerasa intense. Masyarakat pribumi yang diam-diam berusaha menyusun rencana untuk menyingkirkan Belanda juga kerasa suspense-nya. Jujur, paling suka sama adegan yang melibatkan para penari Jathilan. Mungkin kita gak bakal ngira kalau puncaknya bakal BOOM! Teguh Karya mampu mengemasnya secara rapi. Tidak lupa penampilan kocak dari dua pasukan pribumi Belanda, yaitu Kopral Dirun dan Kopral Tukijo yang mampu menyegarkan suasana dengan logat Jawa mereka. Bagian di mana Sunarti bermonolog pun juga keren. Teguh Karya juga memberikan sub-plot percintaan antara Laras dengan Jarot. Namun, tidak terlalu berkembang. Untungnya, gak sampai mencederai filmnya.

An Indonesian classic epic. It's not just a movie about war between Javanese people and Dutch armies. In my opinion, it's more psychological-drama. There's a character study in it along with a great performance from its actors/actresses. The plot is simple, actually. But, writer/director Teguh Karya could make three-dimensional characters who had their own motivations so they had deep characterization. Review ini saya tutup dengan quote dari Kromoludiro yang gak tahu kenapa agak mencerminkan negara Indonesia sekarang.

"Sebuah pademangan jika terdiri dari banyak maling akan membuat sebuah kabupaten tidak bisa berdiri. Sebuah kabupaten jika terdiri dari banyak maling tidak bisa membuat sebuah kepatihan berdiri. Sebuah kepatihan jika terdiri dari banyak maling tidak bisa membuat sebuah kesultanan berdiri kokoh. Jika penduduk sebagian besar terdiri dari maling, maka lebih baik pulau Jawa ini tenggelam ke dasar laut..."


1 komentar: